SUGENG SAMBANG



KOMUNITAS ANTI PENINDASAN YANG SELALU BERJALAN UNTUK MENJUNJUNG KEBENARAN DAN KEADILAN


POS RONDA ? ? ? ?

oleh : GUNAWAN

Sehebat apapun sebuah ruang hidup dikontrol, baik melalui desain arsitektur yang tangible maupun melalui desain pengetahuan yang abstrak, selalu saja ada celah, kebocoran, perembesan, bahkan pembalikan terhadap wujud dan makna ruang tersebut melalui praktik kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, keberadaan pos/gardu ronda atau biasa disebut Pos Kamling (Pos Keamanan Lingkungan) yang didirikan di tiap-tiap wilayah administrasi RT (Rukun Tetangga) di kampung-kampung kota, dapat menjadi contoh untuk melihat dan mengurai fenomena arsitektur sebagai fenomena kontrol oleh kekuasaan atas ruang hidup masyarakat kampung. Pos ronda merupakan sebuah wujud desain arsitektur dari kebijakan kontrol kekuasaan pemerintah terhadap wilayah pertetanggaan (kampung) dengan pendekatan keamanan. Tetapi sekaligus juga akan diperlihatkan dari uraian ini bahwa melalui fenomena arsitektur tersebut, telah terjadi perbedaan wujud dan makna terhadap keberadaan pos ronda di dalam praktik kehidupan sehari-hari masyarakat kampung.

Kemunculan dan keberadaan pos ronda sebagai bagian dari Sistem Keamanan Lingkungan atau disingkat Siskamling, jelas-jelas bersifat politis dan militeristik. Sistem Keamanan Lingkungan, pertama kali dibikin oleh Kepala Kepolisian Indonesia awal tahun 1980-an untuk menjelaskan operasi baru pengorganisasian aparatus keamanan lokal yang memberi tanggungjawab kepada polisi untuk melakukan koordinasi dan pengawasan ronda pertetanggaan, serta untuk melakukan training dan pengawasan satpam yang ditempatkan di tempat-tempat publik dan komersial. Setuju dengan analisis Bourchier, munculnya kebijakan Siskamling dilatarbelakangi perpecahan dua kubu di tubuh pemerintahan Orde Baru yang militeristik pada waktu itu (awal tahun 1980-an). Kebijakan Siskamling menjadi representasi dari pihak para penganjur/pendukung pendekatan jalur hukum, sedangkan pihak yang lain, yaitu para pendukung pendekatan ekstra-yuridis (di luar jalur hukum) direpresentasikan oleh operasi “Petrus”, atau dikenal dengan Penembakan Misterius (Bourchier via Barker 1998; 9) terhadap para gali dan preman.

Melihat fungsi dan posisi Siskamling tersebut, sebuah pos ronda harus didirikan di tempat-tempat strategis, misalnya; area gerbang masuk wilayah kampung, di persilangan antargang atau di tempat-tempat yang lebih leluasa agar bisa memandang semua arah, dan bisa menguasai situasi, ketika gangguan-gangguan keamanan lingkungan datang. Menurut ketentuan, seperti telah disebutkan dalam buku petunjuk Siskamling, setiap wilayah RT (Rukun Tetangga), minimal harus memiliki gardu ronda, bahkan idealnya setiap wilayah RT mempunyai dua buah pos ronda.

Sejak saat itu, pendirian pos ronda di kampung-kampung menjadi trend, seolah setiap wilayah RT saling berlomba. Bahkan seringkali timbul perasaan malu dan rendah diri pada setiap RT bila tidak mempunyai pos ronda. Semua ini bisa terjadi karena didukung dengan maraknya lomba keamanan kampung yang diadakan pemerintah, baik ditingkat kelurahan, kecamatan dan kabupaten, dimana keberadaan pos ronda menjadi ukuran utama dalam penilaian lomba. Bahkan keberadaan pos ronda akhirnya menjadi ukuran kemajuan pembangunan sebuah kampung di kota, yaitu ditandai dengan banyaknya cerita mengenai pejabat pemerintahan yang datang berkunjung ke suatu kampung, yang akan menilai kampung tersebut termasuk dalam kategori ‘miskin’ jika belum mempunyai pos ronda.

Pertanyaan selanjutnya yaitu: Bagaimanakah masyarakat kampung berstrategi mendirikan pos ronda ditengah-tengah ruang hidup permukiman kampung kota yang sesak? Lalu, bagaimanakah wujud dan makna pos ronda dalam praktik hidup sehari-hari di tengah masyarakat kampung?
Dalam Praktik Sehari-hari

Mengikuti dan mencermati proses pendirian sebuah pos ronda di kampug-kampung kota yang padat dan sesak akan memperlihatkan daya hidup masyarakat ‘pinggiran’ di dalam mensiasati tekanan dan keterbatasan dana serta ruang. Berbicara tentang dana pembangunan mendirikan pos ronda akan memperlihatkan kehebatan informalitas masyarakat kampung di kota dalam memperoleh dana dari berbagai macam cara, seperti: iuran wajib dari seluruh warga, membuat proposal bantuan pembangunan kampung dari Kelurahan, diproyekkan kepada para mahasiswa yang KKN, bantuan dari relasi personal dengan orang-orang kaya yang di pinggir jalan besar, ataupun bisa minta sokongan orang-orang kampung yang sudah berhasil dalam soal keuangan. Sedangkan untuk mencari dan menentukan lahan, sebagai tempat didirikannya pos ronda, juga bisa diperoleh dari berbagai macam cara, misalnya: dari tanah kas kampung yang masih tersisa, minta sumbangan atau bisa juga meminjam tanah dari salah seorang warga yang mempunyai tanah luas, ataupun dengan ’mengambil’ sedikit dari wilayah umum, seperti jalan, trotoar, halaman kantor, juga di atas kali, bahkan ada yang hanya berupa papan nama pos ronda yang dipasang di emperan salah satu rumah warga. Pada intinya, strategi masyarakat kampung di dalam mendirikan pos ronda, selain memperlihatkan kemampuan swadaya ekonomi masyarakat kampung, juga memperlihatkan pengetahuan yang kontekstual masyarakat kampung di dalam merespon persoalan ruang hidup yang sungguh-sungguh sudah sesak

Meskipun pemerintah telah menggariskan ketentuan-ketentuan di dalam mendirikan pos ronda, namun perwujudan pos ronda, mulai dari bentuk, ukuran, dan material yang digunakan menjadi sangat beragam. Demikian pula, dilihat dari fungsinya dalam praktik hidup sehari-hari, pos ronda lebih banyak digunakan untuk kegiatan yang lain. Sebagai ruang umum milik komunitas kampung, memungkinkan siapapun juga bisa berebutan memasuki dan ber-identitas dengannya. Keberadaan pos ronda di tengah-tengah permukiman padat, ternyata telah menjadi tempat tujuan dan tempat untuk keluar sementara dari kesesakan ruang yang sangat sempit di rumah-rumah penduduk yang dihuni oleh banyak keluarga. Tidak mengherankan, kita akan menemukan material bangunan pos ronda seperti keramik pada lantainya, lampu neon yang terang, cat tembok yang mahal, di tengah-tengah permukiman padat kampung kota. Pos ronda akhirnya menjadi ruang tamu, ruang keluarga, ruang tidur, dan ruang-ruang multifungsi, di tengah komunitas kampung kota yang padat, yang direspon secara kontekstual oleh masyarakat kampung kota dalam praktik sehari-hari. Kita pun bisa melihat berbagai aktivitas di pos ronda, misalnya: tempat para laki-laki yang nongkrong dan bergerombol, tempat ibu-ibu ngobrol dan mengasuh anak-anaknya, tempat bermain kartu, tempat mangkal anak-anak muda, tempat istirahat abang becak, tempat tidur laki-laki yang tidak punya kamar tidur, tempat mangkal pedagang kaki lima, tempat penitipan barang, bahkan tempat jualan nomer judi togel dan masih banyak lagi.

Dilihat dari desain bentuk dan simbol-simbol yang ada di dalam pos ronda terlihat keberadaan pos ronda justru mencerminkan aktivitas-aktivitas yang multifungsi dan berganti terus-menerus. Ada yang mendesain dengan ornamen kartu permainan bridge, mengganti nama pos ronda yang biasa disebut poskamling dengan disesuaikan pengertian setempat, misalnya: griya jaga atau cakruk, ada juga yang memasang simbol burung garuda dengan mencolok. Singkatnya, seluruh simbol dan aktivitas tersebut menunjukkan keberadaan pos ronda telah melampaui untuk keluar dari wujud dan makna keamanan yang disosialisasikan penguasa.

Pos Ronda sebagai Manifestasi Proses Ruang Negosiasi

Merunut kembali proses masyarakat kampung di kota dalam berstrategi mengumpulkan uang dan menentukan lahan untuk pos ronda serta melihat aktivitas multifungsi dari pos ronda, telah memperlihatkan relativitas makna ruang dan tempat, meski pada awalnya ia merupakan sebentuk kontrol atas ruang. Keberadaan pos ronda akhirnya menjadi manifestasi proses negosiasi antarpersonal, antarpihak, antarkepentingan, yang terus-menerus berlangsung seiring dengan perubahan masyarakat disekitarnya. Meskipun sebagai ruang umum milik kampung, ia juga mengandung kisah individu-individu yang berinteraksi di dalamnya. Pos ronda dalam berwujudannya selalu tidak pernah seragam, penuh tekstur dan penuh corak. Mengandung sejarah panjang komunitas bawah kampung-kampung perkotaan, yang penuh konflik, aturan, nilai, sikap, pedoman, dan dasar-dasar hidup pertetanggaan yang tidak pernah tertulis. Meskipun di satu sisi juga terus-menerus “dipaksa” untuk menyandang predikat sebagai penjaga keamanan. **